Pajak Dalam Perspektif Islam
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, prosentasenya
mencapai 88%. Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan
dengan harta dan penghasilan umat Islam, terdapat kewajiban berupa zakat bagi
yang telah memenuhi syarat. Di sisi lain, sebagai warga negara Indonesia, umat
Islam juga memiliki kewajiban pajak bagi yang telah memenuhi syarat, karena
telah dibuat undang-undang yang mewajibkan itu. Pembayaran pajak merupakan
perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan
negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan,
membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari
setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap
pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Menyikapi
kewajiban pajak berdasarkan undang-undang ini, terdapat beberapa pendapat di
kalangan umat Islam dari yang pro maupun yang kontra karena telah ada kewajiban
zakat terhadap harta dan penghasilannya yang telah memenuhi syarat. Pro kontra
terkait dengan hal ini harus didudukkan pada proporsi yang semestinya agar
terjadi mutual understanding yang membawa kemaslahatan bagi masa depan
kesejahteraan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.
Pembahasan
Menurut fikih Islam, definisi pajak adalah sedekah wajib
yang dipungut pemerintah atas warga negara. Disebut sedekah karena tidak ada
imbalan langsung (iwadl mubasyir) yang diterima si pembayar. Wajib dalam arti
bisa dipaksakan demi kepentingan umum (mashalih ammah). Mengingat betapa
mutlaknya peranan pajak bagi eksistensi negara dan kemaslahatan rakyat (jika
dikelola secara benar), Islam memberi perhatian super serius melalui ajaran
utamanya (rukun Islam), yakni zakat. Sepanjang sejarah negara, pajak telah
berkembang (berevolusi) melalui tiga konsep makna. Pertama, pajak sebagai upeti
(dharibah) yang harus dibayar oleh rakyat semata-mata karena mereka adalah
hamba yang harus melayani kepentingan sang penguasa sebagai tuannya, sang
penguasa. Pajak sebagai upeti ini berjalan berabad-abad pada tahap awal sejarah
kekuasaan para raja feodal di seluruh permukaan bumi. Para raja mengklaim
dirinya sebagai titisan dewa penguasa jagat raya. Pada tahap ini, pajak
didefinisikan sebagai bukti kesetiaan rakyat sebagai abdi dalem kepada sang
raja sebagai ngar-so dalem, meminjam istilah Jawa. Tidak ada kaidah moral
ataupun undang-undang yang mengatur bagaimana dan untuk siapa seharusnya uang
pajak dikelola. Juga, belum dikenal konsep korupsi sebagai kejahatan penguasa
atau pejabat atas keuangan negara. Era upeti ini adalah era feodalisme
raja-raja absolut.
Kedua, pajak dikonsepsikan sebagai imbal jasa (jizyah) dari
rakyat kepada penguasanya. Konsep ini muncul setelah rakyat pembayar pajak (tax
payers) mulai menyadari bahwa raja/penguasa bukanlah dewa yang boleh
memperlakukan rakyat semaunya. Penguasa adalah manusia juga yang memegang kuasa
karena mandat dari rakyatnya. Baik rakyat pembayar pajak maupun penguasa
pemungut pajak kurang lebih adalah manusia yang setara. Maka, jika penguasa
memungut pajak, tidak boleh lagi cuma-cuma. Pajak harus diimbangi dengan
pelayanan kepada rakyat yang membayarnya.
Konsep kedua ini jelas lebih maju dan terasa lebih beradab
dibandingkan konsep pertama. Tetapi, ada cacat bawaan dan struktural yang dapat
memperlebar kesenjangan antara rakyat yang kuat di satu pihak dan rakyat
lemah-miskin di lain pihak. Karena konsepnya imbal jasa (jizyah), pembayar
pajak besar merasa berhak mendapatkan pelayanan besar dari negara; sementara
pembayar pajak kecil hanya berhak atas pelayanan kecil; dan rakyat miskin yang
tidak mampu membayar pajak harus nerimo dengan sisa pelayanan (tricle down
effect), jika masih ada.
Era ini adalah era kita abad modern kapitalistik dewasa ini,
era demokrasi semu dan elitis,demokrasi pasar bebas tanpa nurani; saat
kemakmuran melimpah ruah hanya untuk sebagian kecil orang; sebagian terbesar
umat manusia justru semakin tenggelam dalam kemiskinan dan keterhinaan . Negara
melayani yang kuat dan kaya saja. Jika ingin menegakkan keadilan, seperti dalam
Pancasila, tidak ada pilihan lain bagi kita selain yang ketiga, yakni pajak
sebagai sedekah karena Allah Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta langit dan
bumi, untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua. Islam menyebut pajak dengan
makna zakat, yang secara harfiah berarti kesucian dan pertumbuhan. Artinya,
dengan pajak sebagai zakat, kita menyucikan hati kita dari kedengkian sesama,
sekaligus mengembangkan kemakmuran dan keadilan untuk semua. Artinya, pajak
bukan lagi sebagai persembahan (upeti) ataupun imbal jasa (jizyah) kepada
penguasa, melainkan sebagai derma pembebasan untuk keadilan dan kemakmuran bagi
semua, terutama mereka yang lemah, miskin, dan kekurangan. Dalam konsep ini,
setiap rupiah dari uang pajak adalah uang Allah yang diamanatkan kepada pejabat
negara sebagai pelayan Allah dan rakyat (amil) dengan penuh rasa tanggung
jawab. Mereka yang menyalahgunakan uang pajak, bertanggung jawab kepada rakyat
di dunia dan Allah di akhirat kelak.
Penutup
Pajak merupakan iuran rakyat kepada
kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa imbalan (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Fungsi pajak dibagi menjadi
dua, yaitu: fungsi budgetair atau fungsi finansial dan fungsi
redistribusi pendapatan bagi masyarakat.
Dalam ajaran Islam, kewajiban
utama kaum muslim atas harta adalah zakat. Ulama berbeda pendapat terkait
apakah ada kewajiban kaum muslim atas harta selain zakat. Mayoritas fuqaha
berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta.
Barang siapa telah menunaikan zakat, maka bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya.
Di sisi lain ada pendapat ulama bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain
selain zakat. Jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa
kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang
menghendaki adanya keperluan tambahan (darurah), maka akan ada kewajiban
tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh
Qadhi Abu Bakar Ibn al-Aarabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, Mahmud
Syaltut, dan lain-lain. Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama
tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana
pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika
pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan mencegah
kemudaratan adalah juga suatu kewajiban.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar